English version via CEDS UNPAD.
Pada tanggal 12 Februari 2016, Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa Bangsa (the United Nations Economic and Social Council/UN ECOSOC) mengumumkan anggota tim penasehat independen PBB untuk mendukung pelaksanaan Agenda Pembangunan Global (Sustainable Development Goals/SDGs). Salah satu anggotanya adalah Prof. Armida Alisjahbana, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran yang juga merupakan mantan Direktur CEDS UNPAD.
Yangki Suara, peneliti CEDS UNPAD, berkesempatan untuk mewawancarai beliau di kantornya yang berlokasi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Jalan Cimandiri No. 6-8, Bandung, Jawa Barat. Berikut petikan wawancara Yangki dengan Prof. Armida.
Yangki Suara (YS): Bisakah Ibu menjelaskan apa itu tim penasehat independen Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (independent team of advisor to the United Nations Economic and Social Council/UN ECOSOC) dan apa tugasnya?
Armida Alisjahbana (AA): Tim penasehat independen tingkat tinggi (independent team advisor of high level expert) ini beranggotakan 15 orang yang berasal dari berbagai negara di dunia. Tim independen ini terdiri dari mantan presiden/perdana menteri, mantan menteri, akademisi, dan perwakilan dari organisasi masyarakat sipil/LSM (Civil Society Organisation/CSO). Tim ini dipimpin oleh dua orang co-chairs, Juan Somavia (Chile), mantan Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan Klaus Töpfer, mantan menteri lingkungan Jerman. Tugas utama dari tim penasehat independen ini adalah memberikan rekomendasi untuk mereposisi sistem yang ada di PBB dalam rangka mendukung pelaksanaan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
YS: Kenapa PBB harus direposisi dalam rangka mendukung implementasi SDGs?
AA: Ada beberapa alasan kenapa PBB harus direposisi dalam rangka mendukung pelaksanaan SDGs. Pertama, dari sisi SDGs dan struktur PBB itu sendiri. Kita tahu bahwa SDGs adalah tujuan pembangunan global yang sangat ambisius dengan 17 goals dan 169 target dalam jangka waktu hanya 15 tahun. Beberapa diantaranya adalah pengentasan kemiskinan dan kelaparan, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, melawan perubahan iklim, melindungi laut dan hutan dari kerusakan, menciptakan perdamaian dan keamanan, serta kerjasama dalam mencapai target SDGs.
Kemudian jika kita bandingkan struktur PBB di tahun 1980an dan saat ini tentu saat ini strukturnya jauh lebih complicated dan juga semakin birokratis. Reposisi diperlukan untuk membuat PBB bisa mengakomodir perubahan yang ada tetapi dengan tetap menjaga good governance (tata kelola, pertanggung jawaban).
Kedua, disamping SDGs merupakan tujuan pembangunan global yang sangat ambius, juga terjadi perubahan pada konteks konstelasi global. Dahulu kita mendengar istilah negara maju dan negara berkembang. Tetapi sekarang, disamping negara maju dan negara berkembang juga ada emerging countries, dan least developed countries. Perubahan konstelasi global ini juga merubah pola pembiayaan pembangunan di dunia. Dimana pada saat ini sumber pendanaan pembangunan tidak lagi hanya berasal dari negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, tetapi juga bersumber dari emerging countries (seperti China dan India), kolaborasi antara pemerintah dan swasta melalui public-private partnership, dan kontribusi dari pihak swasta dan masyarakat adalah bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembiayaan pembangunan.
Disamping itu, dalam beberapa tahun terakhir beberapa negara di dunia terus dilanda konflik berkepanjangan. Sistem PBB yang baru diharapkan dapat menempatkan penanganan konflik dan pembangunan pasca-konflik menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Singkat kata PBB harus direposisi dalam rangka mencapai target yang tertuang di dalam SDGs.
YS: Kapan rekomendasi dari tim independen ini akan dibahas oleh PBB?
AA: Rekomendasi dari tim ini akan menjadi bahan yang akan dibahas pada Sidang Umum PBB (UN General Assembly) pada bulan September 2016. Pada sidang tersebut, UN akan menyampaikan rekomendasi dari tim independen ini untuk kemudian dibahas oleh negara-negara anggota PBB. Kesepakatan dari sidang ini lah yang akan menjadi dasar untuk mereposisi PBB.
YS: Ibu juga sempat menjadi co-chair Global Partnership pada tahun 2013-2014. Bisa ibu jelaskan tentang konsep Global Partnership yang diusung pada acara tersebut serta posisinya di dalam SDGs?
AA: Global Partnership mencoba mencari model baru karena perubahan tatanan global. Sebagai salah satu co-chair di acara tersebut, berangkat dari sesuatu yang riil, Indonesia mengusung knowledge sharing melalui triangular cooperation (north-south/negara maju-negara berkembang, south-south/negara berkembang-negara berkembang, yang difasilitasi baik oleh lembaga multilateral seperti Bank Dunia ataupun negara maju seperti Australia). Knowledge sharing diharapkan menjadi tempat dimana negara-negara berkembang yang berhasil menjadi emerging countries, termasuk juga Indonesia yang berhasil dalam beberapa hal, bisa berbagi pengalaman nya kepada negara berkembang lainnya dengan bantuan pendanaan dari institusi multilateral ataupun negara maju.
Co-chair dari Nigeria (Ms. Ngozi Okonjo-Iweala, Minister of Finance) mengusulkan mobilisasi sumberdaya domestik (domestic resources mobilisation). Alasannya sangat sederhana, negara berkembang tidak akan bisa maju tanpa adanya reformasi pada sumberdaya domestiknya, contohnya reformasi perpajakan. Dengan adanya reformasi tersebut, diharapkan pendapatan negara berkembang bisa meningkat sehingga mengurangi ketergantungan akan bantuan asing dalam membangun negaranya. Kemudian co-chair dari Inggris (Ms. Justine Greening, Secretary of State for International Development) mengusulkan pentingnya melibatkan private sector (dunia usaha) dalam rangka memajukan negara, hal ini berkaca dari pengalaman Inggris. Terkait dengan posisi Global Partnership di agenda pembangunan global pasca 2015, Global Partnership sepakat bahwa tidak akan mengusung agenda global tersendiri, tetapi lebih kepada partnershipnya sendiri, saat ini Global Partnership masuk ke dalam target SDGs nomor 17.
YS: Menurut Ibu, apa tantangan terbesar dalam mengimplementasikan SDGs di negara berkembang?
AA: Ada banyak tantangan terutama untuk implementasi SDGs di negara berkembang. Pertama, data. Ketersediaan data merupakan salah satu kunci untuk memonitor pencapaian target dan indikator SDGs. Indonesia sangat beruntung memiliki Badan Pusat Statistik (BPS), data dari BPS ini sangat bisa diandalkan dalam mengukur progres Indonesia.
Kedua, substansi dari agenda pembangunan itu sendiri. Masih banyak target dan indikator dari Agenda Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MGDs) yang belum dapat dipenuhi oleh negara-negara berkembang, sementara itu, SDGs datang dengan target dan indikator yang jauh lebih banyak dari MDGs. Ini tentunya adalah dua pekerjaan yang sangat besar yang harus dapat diatasi oleh banyak negara berkembang di dunia.
YS: Berangkat dari pengalaman ibu memimpin Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada periode 2009-2014, yang juga merupakan sekretariat nasional untuk MDGs, apa harapan ibu ke depannya terkait dengan implementasi SDGs di Indonesia?
AA: Berdasarkan pengalaman saya lima tahun di pemerintahan (sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala BAPPENAS), pemerintah perlu berkolaborasi dari berbagai pihak termasuk diantaranya akademisi untuk mencapai target MDGs dan sekarang SDGs. Sebagai akademisi, saya tentunya berharap pemerintah memberikan ruang sehingga perguruan tinggi dapat berperan aktif dalam implementasi SDGs di Indonesia. Kami sendiri tidak akan berdiam diri menunggu panggilan tersebut, dalam waktu dekat, Universitas Padjadjaran (UNPAD) akan segera meresmikan pendirian Pusat Kajian SDGs (SDGs Center) yang akan saya pimpin bersama dengan Dr. Arief Anshory Yusuf (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), Dr. Suzy Anna (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) dan Dr. Ade Kadarisman (Fakultas Ilmu Komunikasi). Harapannya semoga SDGs Center ini bisa berkontribusi aktif dalam implementasi SDGs di Indonesia melalui berbagai kegiatan yang akan kami laksanakan, diantaranya; kajian akademik, kegiatan training, seminar rutin dan workshop dengan mengundang para ahli terkait pembangunan berkelanjutan dari berbagai disiplin ilmu.
Photo credit: MCA-Indonesia.