Berdamai dengan Teknologi

Flickr / Mark Warner

JAKARTA – Kehadiran layanan transportasi berbasis online mengalami penolakan di banyak negara, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di banyak negara maju. London di Inggris dan Paris di Prancis bisa menjadi contoh bagaimana para supir taksi konvensional di benua biru menolak kehadiran Uber sebagai salah satu alternatif transportasi bagi masyarakat.

Penolakan besar-besaran di Jakarta mencapai puncaknya pada hari Selasa, tanggal 22 Maret 2016 ketika ribuan pengemudi taksi konvensional dan bajaj yang merupakan anggota dari Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melumpuhkan jalanan protokol Jakarta. Salah satu tuntutan para pendemo ini, baik di negara maju maupun di negara berkembang adalah menuntut pemerintah untuk bertindak tegas terhadap pelaku bisnis transportasi online yang menurut mereka ilegal karena melanggar aturan yang ada sehingga harus segera ditutup secepat mungkin. Tentunya ini menjadi sangat menarik untuk ditelusuri bagaimana perjalanan Uber dan Grab menjadi sangat kontroversial di negeri ini.

Fenomena transportasi berbasis online

Berawal dari Kota San Francisco di Amerika Serikat, hingga hari ini, Uber telah beroperasi di lebih dari 400 kota di 56 negara di dunia. Di Asia Tenggara, Uber telah beroperasi di 14 kota di 6 negara, termasuk di empat kota besar di Indonesia; Jakarta, Bandung, Bali, dan Surabaya. Aplikasi Uber yang revolusioner ini juga sangat mudah untuk ditiru oleh para pesaingnya. Jika di negara asalnya ada Lyft, di China ada Didi Kuadi, di tanah air juga ada Grab dan Go-Jek yang dimotori oleh banyak generasi muda Indonesia. Grab saat ini telah beroperasi di 5 kota di Indonesia; Jakarta, Padang, Surabaya, Bali dan Bandung, sedangkan Go-Jek telah beroperasi di daerah Jabodetabek, Bandung, Bali dan Surabaya.

Kenapa transportasi berbasis online ini bisa mendapatkan pangsa pasar di tengah kompetisi bisnis transportasi konvensional tanah air? Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa layanan transportasi online seperti Uber, GrabCar dan Go-Jek terus menggeregoti pangsa pasar transportasi konvensional. Pertama, biaya yang lebih murah. Kedua, aksesnya yang sangat mudah. Dan ketiga, mampu mengurangi tingkat pengangguran.

Secara garis besar, perusahaan yang tergabung dalam konsep ride-sharing ini hanya menyediakan sebuah platform (aplikasi) yang menghubungkan pemilik kendaraan dengan calon pengguna layanan. Perusahaan tersebut sama sekali tidak memiliki armada transportasi sebagaimana laiknya bisnis transportasi konvensional. Dengan mengusung konsep bisnis layanan aplikasi transportasi online, mereka mampu menekan biaya operasional yang biasanya dikeluarkan oleh bisnis taksi konvensional. Biaya tersebut diantaranya adalah biaya perawatan kendaraan, asuransi kendaraan, sewa lahan untuk pool taksi, serta biaya lisensi untuk membuat armadanya turun ke jalan.

Rendahnya biaya operasional ini tentu sangat berpengaruh terhadap biaya yang mereka tawarkan kepada konsumen. Menurut Brishen Rogers (2015), penggunaan aplikasi online ini mampu mengeliminasi biaya mencari (search cost). Hanya dengan beberapa kali klik pada aplikasi di smart-phone atau tablet, konsumen tinggal menunggu kedatangan pengemudi. Tentunya ini sangat menghemat waktu dan biaya jika kita bandingkan dengan mencari taksi konvensional dimana konsumen harus mengeluarkan biaya atau waktu ekstra untuk menelepon customer service atau berjalan kaki menuju tempat ngetem taksi.

Disamping itu, konsumen juga dimanjakan dengan berbagai tarif promo dan pilihan metoda pembayaran seperti cash dan kartu kredit. Melalui fitur Uber for Business, Uber juga bisa menjadi salah satu alternatif moda transportasi karyawan bagi perusahaan yang biasanya menggunakan taksi sebagai sebagai sarana transportasi bagi karyawannya. Pada akhirnya, konsumen (pribadi ataupun perusahaan) akan beralih dari taksi konvensional ke moda transportasi online karena biaya yang lebih murah dan akses yang lebih mudah. Ini sangat sesuai dengan prinsip dasar ilmu ekonomi bahwa konsumen yang rasional pasti sensitif terhadap harga, apalagi ketika disaat yang bersamaan konsumen dimanjakan dengan tarif promo dan fitur yang membuat pengalaman menggunakan transportasi lebih menyenangkan.

Disamping itu, aplikasi transportasi online juga menyediakan lapangan pekerjaan, ini bisa juga menjadi salah satu solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran. Dan disaat yang bersamaan, menawarkan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan supir taksi konvensional. Uber menyebutkan bahwa mayoritas pengemudi Uber di London berasal dari borough (kecamatan) dengan tingkat pengangguran yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan borough lainnya. Uber juga mengklaim bahwa pada tahun 2014 setidaknya Uber membuka 20,000 lapangan kerja baru setiap bulannya dengan potensi pendapatan pertahunnya mencapai angka USD 90,760 di Kota New York (Uber, 2015). Atau hampir tiga kali rata-rata pendapatan supir taksi konvensional Kota New York (Department of Labor, New York State, 2015).

Di Indonesia, para pengemudi transportasi online juga dimanjakan oleh berbagai bonus dan insentif. Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan beberapa pengemudi transportasi online, pengemudi akan mendapatkan tambahan pemasukan ketika mengantarkan penumpang yang ke 50. Belum lagi insentif tambahan jika mereka berhasil merekrut pengemudi lainnya. Tentunya tidak heran ketika ribuan orang dari berbagai latar pendidikan, dan bahkan ada yang rela meninggalkan pekerjaannya untuk bergabung menjadi bagian dari bisnis ini. Mereka rela mengantri dari pagi hari ketika rekrutmen besar-besaran pengemudi transportasi online ini dilaksanakan.

Peran Pemerintah

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi pada sektor transportasi akan memaksa pemerintah untuk segera melakukan revisi undang-undang terutama UU No. 22 Tahun 2009 terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Undang-undang ini disahkan sebelum adanya sistem bisnis transportasi online seperti sekarang ini. Mencari solusi yang bisa diterima oleh semua pihak, baik dari sisi konsumen, pelaku bisnis transportasi konvensional dan bisnis transportasi online tentunya tidaklah mudah.

Jika status quo terus dibiarkan, PPAD telah mengancam akan melakukan mogok nasional yang tentunya akan merugikan banyak pihak terutama masyarakat pengguna moda transportasi. Tetapi jika pemerintah menolak mengakomodir transportasi online juga dirasa tidaklah pas, karena teknologi ini memberikan manfaat yang tidak sedikit baik bagi pengguna maupun pengemudinya. Disamping itu, banyak generasi muda Indonesia yang rela meninggalkan pekerjaan mereka yang telah mapan dan bergabung di industri transportasi online ini dalam rangka meningkatkan akses mobilitas penduduk di tengah kemacetan dan semrawutnya transportasi konvensional tanah air. Sekaranglah saat yang tepat bagi pemerintah untuk berdamai dengan teknologi dengan melakukan revisi UU LLAJ tahun 2009 sehingga sesuai dengan perkembangan sektor transportasi ditahun 2016 ini.

Pada rubrik Opiki Kompas, Muhammad Syarif Hidayatullah (2016) menuliskan bahwa pemerintah perlu memperhatikan tiga hal dalam mengakomodir transportasi online; menciptakan persaingan yang adil dan sehat antara perusahaan transportasi online dan transportasi konvensional; jaminan sosial bagi pengemudi dari layanan transportasi online; dan asuransi bagi pengemudi dan penumpang. Akan tetapi, tiga hal tersebut belumlah dirasa cukup, pemerintah juga perlu memperhatikan tiga aspek tambahan berikut ini; keamanan data pengguna transportasi online, revisi mengenai aturan tarif yang berlaku, dan keadilan bagi para pelaku usaha transportasi melalui penerapan aturan yang berlaku.

Pertama, seperti yang dijelaskan pada bagian kedua tulisan ini. Perusahaan aplikasi transportasi online mengumpulkan beberapa data individu konsumen seperti nama, nomor telepon, email, informasi kartu kredit, dan juga mencatat geo-lokasi pengguna. Pemerintah sebagai regulator perlu memastikan bahwa perusahaan aplikasi transportasi online harus memproteksi data tersebut sehingga tidak disalahgunakan baik oleh pihak perusahaan maupun mitra mereka (pihak rental dan juga pengemudi). Hal ini perlu digarisbawahi karena hingga saat ini telah terjadi beberapa kali penyalahgunaan data penumpang transportasi berbasis online oleh para pengemudi, seperti mengirimkan SMS yang tidak wajar. Bukan tidak mungkin juga dimasa mendatang, data geo-lokasi pengguna juga bisa disalahgunakan oleh perusahaan transportasi online atau pihak lainnya.

Kedua, pemerintah juga perlu merevisi aturan mengenai tarif yang berlaku. Manakah yang lebih baik antara penetapan tarif batas atas dan batas bawah atau konsep dynamic pricing, seperti yang ditetapkah oleh Uber. Konsep ini mengaplikasikan teori penawaran dan permintaan dimana biaya akan mengikuti permintaan akan layanan Uber, semakin tinggi permintaan, semakin tinggi biaya yang akan dibebankan kepada konsumen. Disamping itu, pemerintah juga harus mengkaji, apakah perang tarif yang dilaksanakan oleh perusahaan transportasi online bertujuan murni untuk mendapatkan pangsa pasar, atau juga untuk membunuh para pesaingnya sehingga mereka tersingkir dari persaingan dan pada akhirnya mereka bisa bertindak memonopoli pasar transportasi online.

Dan terakhir, setelah bertemu dengan pihak Kementerian Perhubungan pada tanggal 23 Maret 2016, Uber dan GrabCar telah menyampaikan komitmen bahwa mereka adalah perusahaan penyedia jasa layanan aplikasi, bukan perusahaan penyedia jasa transportasi. Oleh karena itu, Uber dan GrabCar harus memastikan bahwa mitra mereka (perusahaan penyedia jasa transportasi) harus mengikuti aturan yang berlaku. Dan jika aturannya memang mewajibkan penyedia jasa transportasi harus berbadan hukum, mengikuti asuransi kecelakaan baik bagi pengemudi dan penumpang, uji kelaikan kendaraan (KIR), dan berbagai kewajiban lainnya sesuai aturan yang berlaku. Oleh sebab itu, pemerintah sebagai regulator harus memastikan bahwa semua pemain di industri transportasi, termasuk juga Uber dan GrabCar sebagai penyedia jasa layanan aplikasi mematuhi peraturan yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia.

*Photo credit to Mark Warner via Flickr

Published by Yangki

Founder Made by Suara https://madebysuara.com

One thought on “Berdamai dengan Teknologi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: