Kurzgesagt explains the coronavirus and what you should do. The best thing to do is to wash your hand and keep your distance.
What Coronavirus Symptoms Look Like, Day By Day
After being exposed to the virus that causes COVID-19, it can take as few as two and as many as 14 days for symptoms to develop. Cases range from mild to critical. The average timeline from the first symptom to recovery is about 17 days, but some cases are fatal. Here’s what it looks like to develop COVID-19, day by day.
How soap kills the coronavirus
You’ve been told a thousand times: wash your hands to stop the spread of COVID-19. But why does this work so well? It has to do with the way the soap molecules are able to absolutely demolish viruses, like the coronavirus. Vox explains how soap kills the coronavirus.
Flatten the Curve
In recent days, people are talking about flattening the coronavirus curve. One way to do it is to slow the spread of the virus through community transmission and there are fewer people in need of access to the hospital at the same time. This version of the “flatten the curve” is illustrated by Toby Morris in an article by an infectious disease expert Dr Siouxsie Wiles.
Our aim will be to keep phase two of the epidemic curve as flat as possible, keeping the number of cases reported each day as low as we can. If we can achieve that, it’ll mean we’ll be able to treat everyone who needs treating. We can all help with this by washing our hands regularly, avoiding touching our mouth, nose, and eyes, and staying away from other people when we are sick.
Running for my Mom: London Winter Run 2017
My mom was diagnosed with breast cancer 7 years ago and she has done several chemo, radiation and natural therapy, and a mastectomy. I am very thankful that I still have my mom around.
I decided to run for her in the upcoming London Winter Run 2017. I’ve received tremendous support from families and friends. I’ll team-up with four more friends: Arie Prayogo, Eva Renon, Irene Marinaki and Yanna Rahadiansyah.
It will be my first winter run ever. Therefore, I need to prepare myself and here’s my 10K running route.
Photo credit: London Winter Run UK
Wisata Murah Meriah di Seoul
Pada tanggal 22 Desember 2015, tiga hari setelah melangsungkan pesta pernikahan, kami langsung terbang ke Korea Selatan. Karena penerbangan kami bertepatan dengan libur natal dan tahun baru, harga tiket pesawat untuk penerbangan langsung sangatlah tinggi. Untuk menghemat biaya penerbangan, kami terpaksa harus terbang dari Jakarta menuju Incheon via Ho Chi Minh City, Viet Nam. Penerbangan yang seharusnya hanya memakan waktu 8 jam, terpaksa harus kami tempuh selama lebih dari 24 jam karena harus transit sekitar 16 jam di Viet Nam.
Berkunjung ke Istana Presiden Korea Selatan
Jika di Amerika Serikat istana presiden terkenal dengan nama White House, maka di Korea Selatan, istana presidennya dikenal dengan nama Blue House. Orang lokal juga menyebutnya dengan nama Cheong Wa Dae. Pelancong bisa mengunjungi Cheong Wa Dae secara gratis dengan terlebih dahulu mendaftar paling tidak tiga minggu sebelum kedatangan.
Kami beruntung mendapatkan kesempatan yang langka ini. Pada hari H, kami langsung melakukan pendaftaran ulang di area parkir Gyeonkboggung Palace yang berjarak sekitar 1 KM dari Cheong Wa Dae. Peserta yang mayoritas adalah warga negara Korea Selatan kemudian naik bus khusus ke area Blue House.
Sesampainya di pintu masuk Istana Presiden, peserta tur harus melewati alat deteksi metal untuk bisa masuk ke dalam kawasan Cheong Wa Dae. Di awal tur, peserta akan disajikan dengan tayangan cerita Cheong Wa Dae. Karena bahasa utama yang dipakai adalah Bahasa Korea, maka panitia tur juga memberikan peserta internasional sebuah alat penerjemah dilengkapi dengan sebuah headset.
Ada beberapa lokasi di Cheong Wa Dae yang tidak boleh difoto oleh peserta tur karena alasan keamanan nasional. Sayang sekali, area yang dilarang tersebut memiliki pemandangan yang begitu indah.
Wisata Kuliner
Jika Anda tertarik untuk menikmati makanan khas Korea. Anda bisa berkunjung ke kawasan Insadong ataupun Stasiun Jonggak. Di kedua kawasan ini, para pelancong akan dimanjakan dengan berbagai makanan khas Korea yang wajib dicoba seperti ramyun (mie), kimchi, sannakji (gurita hidup), dan chimaek (ayam goreng).
Sungai Kecil di Tengah Kota
Selanjutnya, tempat yang juga wajib dikunjungi adalah Cheonggyecheon Stream. Tentunya sungai kecil yang terletak di tengah kota Seoul ini tidak asing lagi bagi para pecinta K-Pop dan K-Drama karena dipakai untuk tempat syuting berbagai video klip ataupun drama Korea.
Cheonggyecheon Stream juga menjadi salah satu tempat favorit baik turis maupun muda-mudi Korea, begitu juga para pelajar internasional.
Dira, salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran, yang menamatkan pendidikan master di Korea mengungkapkan bahwa di Cheonggycheon Stream adalah salah satu tempat favoritnya di Seoul.
Desa Tradisional Korea diantara Dua Istana
Jika pelancong ingin merasakan suasana kampung tradisional Korea, maka Anda sangat disarankan untuk mengunjungi Hanok Bukchon Village yang terletak diantara dua istana; Gyeongbokgung Palace dan Changdeokgung Palace. Hanok Bukchon Village juga merupakan salah satu tempat wisata favorit di Seoul karena menawarkan keunikan arsitektur rumah khas Korea.
Seoul N Tower
Mengunjungi Seoul rasanya tidak lengkap jika Anda tidak melihat Kota Seoul dari Seoul N Tower yang berada di kawasan Namsan. Pelancong sangat direkomendasikan untuk berkunjung di malam hari sehingga bisa melihat gemerlapnya Ibukota Negara Ginseng.
Di Seoul N Tower, pelancong juga bisa menempatkan kunci gembok cinta mereka di tempat yang disediakan. Gembok cinta yang jumlahnya ribuan ini juga menjadi salah satu tempat menarik untuk selfie.
Menginap di Pemandian Air Panas ala Korea
Bagi yang biasa nonton drama Korea tentu Jimjilbang sudah tidak asing lagi. Iya, Jimjilbang adalah tempat pemandian air panas khas Korea. Lebih tepatnya, Jimjilbang adalah kombinasi pemandian air panas, sauna yang juga menyediakan tempat untuk istirahat khas Korea.
Di dalam Jimjilbang, terdapat berbagai kolam air mulai dari suhu yang dingin hingga suhu yang mencapai 40 derajat Celsius yang terlalu sayang untuk di lewatkan. Jangan lupa juga untuk mencoba berbagai makanan dan minuman khas jimjilbang seperti: sikhye (minuman beras dingin), miyeok-guk (sup rumput laut), dan maekbanseok gyeran (telur rebus). Makanan dan minuman tersebut bisa didapatkan dengan harga mulai dari 1,000 hingga 5,000 won (setara Rp 12,000 hingga Rp 60,000) per porsi.
This article first published in The Adventure of Ikan and Kancil.
Not-so-Uber Experiences! What To Do About It?
In the past few months, I’ve been using Uber service to keep me moving from point A to point B in Jakarta. Uber offered me a very convenient way by connecting me with their drivers very quickly. Only with a hit of a button, the driver will go to my place and take me to my final destination. And Uber Apps also allowed me to get some details of my driver like his/her first name, mobile number, car plate number, his/her current location, and expected time arrival (ETA).
These pretty cool features allow me to focus on my things rather than spending my time catching up a taxi from the street or spending few rupiah calling for a taxi operator. Unfortunately, I also received some not-so-Uber experiences in the past few rides. It can be due to GPS glitch, inefficient routes to an unexpected road closure. For an example, about two months ago, due to a technical GPS error, my 2.5 km normal ride turn out to be a 14.07 km ride as written in the following receipt from Uber.
Looking at the Uber fare breakdown, the app calculated I travelled 14.07 km in 21 minutes. Based on Uber Jakarta’s pricing policy. Under a normal 2.5 km ride, with mileage charged at Rp2,000 per km, Uber should charge me Rp5,000 (Fuel). I also spent about 21 minutes in the car, at Rp300 per minute, which also work out Rp6,300 (Driver). Add those together with a base fare Rp3,000 (Car Rental), I should have only paid Uber Rp14,300 instead of Rp37,000.
I felt rather ripped off because Uber charged me more than two times the normal fare. I opened the Uber app and contacted them via ‘Need Help?’ button.
Less than five minutes, Joseph, an Uber Support Team, responded to my queries via email.
It looks like the fare is different than you expected due to a GPS issue, which also explains why the map in your receipt might look a bit off. Because fares are based on the distance and time recorded by GPS data in your driver’s app, technical errors can occasionally lead to inaccurate fares.
He also asked me to provide my pickup location and destination. I provided him these locations and a few minutes later he replied:
I’ve checked your trip and based on the pickup location and destination you’ve provided, it should have only cost Rp10,855. I’ve adjusted the fare accordingly and you’ll see it reflected on your account within a few business days.
A few minutes later, I received another email from Uber that they have refunded Rp26,145 to my credit card.
BOTTOM LINE: I was amazed by how quick Uber responded to my queries and adjusted my fare fairly based on my actual pickup location and destination. If you’ve ever experienced any type of not-so-Uber experiences, I urge you to contact Uber directly so they can fix your journey.
My Internship Experiences at the Green Climate Fund (GCF)
I spent my last winter (October 2015 – January 2016) in South Korea working as an intern at the Green Climate Fund (GCF). GCF is a new multilateral fund created to make a significant and ambitious contribution to the global efforts towards attaining the goals set by the international community to combat climate change.
Last week, Katie Black, Internships and Research Consultancy Officer at King’s Careers & Employability, King’s College London, published my internship experiences at GCF under King’s Internship – Case Studies. Here are some excerpts.
What did you study/are you studying at King’s College London?
“MSc on Emerging Economies and Inclusive Development.”
What internship did you apply for and why did you apply for it?
“Internship at the Green Climate Fund (GCF). I am passionate about climate change and economic development. Once I saw this internship announcement, I applied immediately.”
Please tell us more about your internship? (Where were you based, what did you do, what were you responsible for, what projects did you work on?)
“My internship took place at the Green Climate Fund’s HQ which is located in Songdo, Incheon, South Korea. I was working under the supervision of the Country Programming Division of the Green Climate Fund. My main task is supporting the role CPD in readiness and preparatory programme, e.g. I developed and maintained key databases for the Fund, maintained online readiness system, and reviewed readiness proposals.”
As this was an internship abroad, can you tell us about the experiences you gained outside of the internship? I.e. where did you live during the internship, what did you do when you weren’t working?
“It was my second time visiting Korea. In my free time, I travelled around and meet with my old friends who are currently residing in Korea. In my first month, I stayed with a Korean family. They are super nice host and they invited me to explore Incheon and Seoul. In my third month, I invited my wife to Korea for our honeymoon. We travelled around and visited many places both in Incheon and Seoul area”
What additional benefits do you think an international internship offers?
“It was my first experience working in a multicultural environment, people at the Fund are coming from all over the world (Europe, Asia, Africa, Latin America, and North America). I learned a lot of being a professional in the area of climate change, particularly in climate finance. In general, the international staff at the Fund have more than 10 years of experience. So it was a very good chance to gain more from those who have done a lot of things in this field. And it was also a good network for future career as well.”
What did you learn from your internship?
“I love the working atmosphere at the Fund. It’s quite demanding, but also fun to hang out with the rest of the team. My time at the Fund exposed me climate change and climate finance industry, and people who are working behind the desk of this big thing. I’ve been inspired by how much I can accomplish in my only three months internship period at the Fund. I’m also inspired by people behind the Fund who put their energy in making the world a better place for our generation to come.”
What skills and experience have you developed that you feel are valuable and will be useful for the future?
“I learnt how to effectively use my time in delivering my task, managed to learn about data management using spreadsheets and interact with the Fund’s staff from different cultural background.”
You can read full article via King’s Internship Case Studies under King’s Internships Off Campus – International Internships.
Note: The Green Climate Fund internship program provides a unique learning opportunity for students and recently graduates from diverse academic backgrounds. GCF encourage qualified women and men, in particular, nationals of developing countries, with diverse professional, academic, and cultural backgrounds to apply. The program is designed for talented and motivated individuals skilled in areas relevant to GCF’s operations. The program allows selected candidates to gain insight into the work of the Fund and provides assistance and training in various professional fields in a multicultural environment. Find out more about GCF Internship Programme here.
First published 22 April 2016
Last update 17 April 2020
17 April 2020
Update the link to GCF Internship Programme
Sejarah Panjang Praktik Pasung di Indonesia
YANGKI IMADE SUARA*. Pikiran Rakyat, 19 April 2016.
PEMASUNGAN masih terus terjadi di tanah air meskipun praktik tersebut telah dilarang oleh pemerintah semenjak tahun 1977. Orang yang mengalami gangguan kejiwaan dianggap sebagai orang yang tidak lagi punya harapan untuk menjalani kehidupan secara normal. Tidak jarang mereka diperlakukan lebih parah daripada seekor binatang. Tidak jarang pula mereka dipasung oleh keluarga dan masyarakat sekitar karena dianggap dapat membahayakan dan mengganggu ketentraman warga lainnya.
DADAN yang saat ini berumur 33 tahun, warga Kampung Selakaso, Desa Selawangi, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, terpaksa harus mendekam di kurungan sempit yang terletak di tengah sawah, jauh dari permukiman warga. Seperti kebanyakan korban pemasungan di Indonesia. Dadan terpaksa harus makan, tidur, dan buang hajat di kurungan sempit tanpa alas selama enam tahun terakhir. Kurungan yang hanya beratap plastik terpal tersebut bahkan tidak mampu memberikan perlindungan teriknya cahaya matahari dan dinginnya air hujan (Pikiran Rakyat, 16 April 2016).
Dadan mungkin termasuk salah satu korban pasung yang sangat beruntung. Dengan usaha yang gigih dari salah satu pegiat kesehatan jiwa dan bantuan gencarnya publikasi oleh rekan-rekan media, Dadan berhasil dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, di Cisarua, Bandung. Tentu sangat menarik untuk melihat sejarah panjang praktik pemasungan di Indonesia karena Dadan hanyalah satu dari ribuan masyarakat Indonesia yang dipasung karena mengidap gangguan kejiwaan.
Human Right Watch (2016) mendefinisikan bahwa pasung adalah satu bentuk pengekangan yang secara tradisional dipakai di Indonesia, tanpa akses pada perawatan kesehatan jiwa dan layanan pendukung lain, untuk membatasi orang yang dianggap atau mengalami disabilitas psikososial di dalam atau di luar rumah. Pengekangan ini berupa mengikat orang atau menguncinya di kamar, gudang, atau kurungan atau kandang hewan (termasuk kandang ayam, kandang babi, atau kandang kambing) selama beberapa jam tapi bisa pula berhari-hari hingga bertahun-tahun.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melarang praktik pemasungan semenjak tahun 1977. Akan tetapi praktik pasung ini terus saja terjadi selama empat puluh tahun terakhir. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya sebanyak 57 ribu orang pernah dipasung oleh keluarganya. Atau sekitar 14.3% dari Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (ODGJB).
Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa praktik pasung masih terus terjadi di tanah air. Pertama, rendahnya pemahaman masyarakat tentang gangguan kesehatan jiwa. Kita cenderung menganggap bahwa orang dengan gangguan kejiwaan adalah sebuah kutukan yang tidak dapat diobati. Disamping itu, stigma negatif dari masyarakat juga membuat keluarga korban lebih memilih memasung mereka karena hal ini adalah suatu aib bagi keluarga.
Kedua, minimnya pengetahuan masyarakat ini juga berakibat dengan rendahnya akses informasi masyarakat ke akses pengobatan profesional. Banyak keluarga pasien yang memilih berobat kepada para dukun dan kiai karena anggapan bahwa gangguan kejiwaan ini akibat dari kerasukan roh jahat dan setan. Tidak jarang pengobatan ini dilakukan dengan merantai korban dan kemudian menjalani berbagai ritual tradisional lainnya seperti merapal ayat suci, dan mandi malam. Ketika para dukun dan kiai tidak berhasil mengeluarkan roh jahat tersebut, akhirnya keluarga pasien mulai mengekang korban dirumahnya. Disinilah praktik pasung tersebut bermula.
Ketiga, minimnya akses terhadap layanan kesehatan jiwa professional dibidang kejiwaan. Diah Setia Utami, Direktur Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan (Global Mental Health, 2013) menyebutkan bahwa Rumah Sakit Jiwa di Indonesia hanya tersedia di 27 provinsi dengan kapasitas 7,700 kasur. Disamping itu, terdapat juga kekurangan tenaga medis kejiwaan, sehingga lebih banyak ditangani oleh para relawan. Tentunya angka statistik tersebuh masih jauh dari cukup.
Langkah kedepan
Pada tahun 2014, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No 18 Tahun 2014. Kementerian Sosial juga mencanangkan Indonesia Bebas Pasung 2017. Tentunya ini adalah sebuah misi yang sangat mulia mengingat mereka yang menderita gangguan kejiwaan sudah seharusnya diperlakukan layaknya manusia. Karena bagaimanapun juga, mereka adalah warga negara yang haknya wajib dilindungi oleh pemerintah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memuluskan misi itu.
Pertama, perlu sosialisasi yang aktif dari pemerintah tentang informasi kesehatan jiwa. Stigma negatif bahwa gangguan kejiwaan adalah sebuah kutukan harus dimentahkan oleh pemerintah. Pendidikan dan penyebaran informasi yang benar tentang penyakit kesehatan jiwa mempunyai peran yang sangat krusial dalam mencapai tujuan mulia Indonesia Bebas Pasung. Diharapkan dengan promosi yang gencar dari pemerintah, keluarga korban bisa melaporkan kondisi kesehatan keluarganya sedini mungkin kepada pihak terkait. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
Kedua, keluarga pasien dan masyarakat juga perlu terlibat aktif dalam memberantas praktik pasung di Indonesia. Kita seolah-olah sudah terlena bahwa pasung adalah praktik yang lumrah dilakukan terhadap orang dengan gangguan kejiwaaan demi keselamatan warga sekitar. Sudah saatnya juga masyarakat melaporkan praktik keji tersebut kepada pihak yang berwenang sehingga tidak ada lagi cerita pasung di tengah-tengah masyarakat. Di banyak kasus, tidak adanya biaya untuk pengobatan korban juga menjadi batu sandungan dalam mencapai target Indonesia Bebas Pasung. Ini bisa diminimalisir oleh pemerintah dengan membebaskan biaya pengobatan bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan.
Ketiga, pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, wajib untuk menjalankan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014. Seperti misalnya: menyediakan sarana dan prasana dalam penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa (pasal 77); melakukan rehabilitasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ); dan mempidana orang yang dengan sengaja atau menyuruh orang lain untuk mamasung, menelantarkan dan melakukan kekerasan terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan (OMDK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Keempat, penanganan pasca program rehabilitasi juga menjadi salah satu kunci utama kesuksesan Indonesia Bebas Pasung. Orang yang dipasung, layaknya korban kekerasannya lainnya sangat rentan dengan trauma yang acapkali akan selalu menghantui mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan pendampingan baik oleh tenaga medis dan juga keluarga korban untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Perlakuan diskriminatif yang selama ini selalu disematkan kepada mereka harus segera ditinggalkan.
Pasung yang merupakan salah satu cara tradional dalam menangani penderita sakit jiwa di Indonesia sudah seharusnya dihapuskan. Target Indonesia bebas pasung bisa dicapai jika para pemangku kepentingan (pemerintah, keluarga dan masyarakat, penegak hukum, dan pegiat kesehatan jiwa) bekerjasama menangani penderita sakit jiwa. Sudah selayaknya kita bersama memperlakukan mereka seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Tentunya kita semua berharap, semoga tidak ada lagi cerita Dadan lainnya di tahun 2017.
*Peneliti di Pusat Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan (Center for Economics and Development Studies), Universitas Padjadjaran.
Anda juga bisa membaca artikel ini di ePaper Pikiran Rakyat (harus login) atau via Facebook Notes.
PS: My friend, Sabrina Gabrielle Anjara (PhD candidate in Public Health and Primary Care at the University of Cambridge), is raising £3,500 to fund her research project on Mental Health Interventions in Indonesia to change the lives of millions of people with psychosocial disability. Donate her via https://crowdfunding.justgiving.com/JIWAtrial
Photo credit: Adeng Bustomi/Antara via Pikiran Rakyat.
Berdamai dengan Teknologi
JAKARTA – Kehadiran layanan transportasi berbasis online mengalami penolakan di banyak negara, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di banyak negara maju. London di Inggris dan Paris di Prancis bisa menjadi contoh bagaimana para supir taksi konvensional di benua biru menolak kehadiran Uber sebagai salah satu alternatif transportasi bagi masyarakat.
Penolakan besar-besaran di Jakarta mencapai puncaknya pada hari Selasa, tanggal 22 Maret 2016 ketika ribuan pengemudi taksi konvensional dan bajaj yang merupakan anggota dari Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melumpuhkan jalanan protokol Jakarta. Salah satu tuntutan para pendemo ini, baik di negara maju maupun di negara berkembang adalah menuntut pemerintah untuk bertindak tegas terhadap pelaku bisnis transportasi online yang menurut mereka ilegal karena melanggar aturan yang ada sehingga harus segera ditutup secepat mungkin. Tentunya ini menjadi sangat menarik untuk ditelusuri bagaimana perjalanan Uber dan Grab menjadi sangat kontroversial di negeri ini.
Fenomena transportasi berbasis online
Berawal dari Kota San Francisco di Amerika Serikat, hingga hari ini, Uber telah beroperasi di lebih dari 400 kota di 56 negara di dunia. Di Asia Tenggara, Uber telah beroperasi di 14 kota di 6 negara, termasuk di empat kota besar di Indonesia; Jakarta, Bandung, Bali, dan Surabaya. Aplikasi Uber yang revolusioner ini juga sangat mudah untuk ditiru oleh para pesaingnya. Jika di negara asalnya ada Lyft, di China ada Didi Kuadi, di tanah air juga ada Grab dan Go-Jek yang dimotori oleh banyak generasi muda Indonesia. Grab saat ini telah beroperasi di 5 kota di Indonesia; Jakarta, Padang, Surabaya, Bali dan Bandung, sedangkan Go-Jek telah beroperasi di daerah Jabodetabek, Bandung, Bali dan Surabaya.
Kenapa transportasi berbasis online ini bisa mendapatkan pangsa pasar di tengah kompetisi bisnis transportasi konvensional tanah air? Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa layanan transportasi online seperti Uber, GrabCar dan Go-Jek terus menggeregoti pangsa pasar transportasi konvensional. Pertama, biaya yang lebih murah. Kedua, aksesnya yang sangat mudah. Dan ketiga, mampu mengurangi tingkat pengangguran.
Secara garis besar, perusahaan yang tergabung dalam konsep ride-sharing ini hanya menyediakan sebuah platform (aplikasi) yang menghubungkan pemilik kendaraan dengan calon pengguna layanan. Perusahaan tersebut sama sekali tidak memiliki armada transportasi sebagaimana laiknya bisnis transportasi konvensional. Dengan mengusung konsep bisnis layanan aplikasi transportasi online, mereka mampu menekan biaya operasional yang biasanya dikeluarkan oleh bisnis taksi konvensional. Biaya tersebut diantaranya adalah biaya perawatan kendaraan, asuransi kendaraan, sewa lahan untuk pool taksi, serta biaya lisensi untuk membuat armadanya turun ke jalan.
Rendahnya biaya operasional ini tentu sangat berpengaruh terhadap biaya yang mereka tawarkan kepada konsumen. Menurut Brishen Rogers (2015), penggunaan aplikasi online ini mampu mengeliminasi biaya mencari (search cost). Hanya dengan beberapa kali klik pada aplikasi di smart-phone atau tablet, konsumen tinggal menunggu kedatangan pengemudi. Tentunya ini sangat menghemat waktu dan biaya jika kita bandingkan dengan mencari taksi konvensional dimana konsumen harus mengeluarkan biaya atau waktu ekstra untuk menelepon customer service atau berjalan kaki menuju tempat ngetem taksi.
Disamping itu, konsumen juga dimanjakan dengan berbagai tarif promo dan pilihan metoda pembayaran seperti cash dan kartu kredit. Melalui fitur Uber for Business, Uber juga bisa menjadi salah satu alternatif moda transportasi karyawan bagi perusahaan yang biasanya menggunakan taksi sebagai sebagai sarana transportasi bagi karyawannya. Pada akhirnya, konsumen (pribadi ataupun perusahaan) akan beralih dari taksi konvensional ke moda transportasi online karena biaya yang lebih murah dan akses yang lebih mudah. Ini sangat sesuai dengan prinsip dasar ilmu ekonomi bahwa konsumen yang rasional pasti sensitif terhadap harga, apalagi ketika disaat yang bersamaan konsumen dimanjakan dengan tarif promo dan fitur yang membuat pengalaman menggunakan transportasi lebih menyenangkan.
Disamping itu, aplikasi transportasi online juga menyediakan lapangan pekerjaan, ini bisa juga menjadi salah satu solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran. Dan disaat yang bersamaan, menawarkan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan supir taksi konvensional. Uber menyebutkan bahwa mayoritas pengemudi Uber di London berasal dari borough (kecamatan) dengan tingkat pengangguran yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan borough lainnya. Uber juga mengklaim bahwa pada tahun 2014 setidaknya Uber membuka 20,000 lapangan kerja baru setiap bulannya dengan potensi pendapatan pertahunnya mencapai angka USD 90,760 di Kota New York (Uber, 2015). Atau hampir tiga kali rata-rata pendapatan supir taksi konvensional Kota New York (Department of Labor, New York State, 2015).
Di Indonesia, para pengemudi transportasi online juga dimanjakan oleh berbagai bonus dan insentif. Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan beberapa pengemudi transportasi online, pengemudi akan mendapatkan tambahan pemasukan ketika mengantarkan penumpang yang ke 50. Belum lagi insentif tambahan jika mereka berhasil merekrut pengemudi lainnya. Tentunya tidak heran ketika ribuan orang dari berbagai latar pendidikan, dan bahkan ada yang rela meninggalkan pekerjaannya untuk bergabung menjadi bagian dari bisnis ini. Mereka rela mengantri dari pagi hari ketika rekrutmen besar-besaran pengemudi transportasi online ini dilaksanakan.
Peran Pemerintah
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi pada sektor transportasi akan memaksa pemerintah untuk segera melakukan revisi undang-undang terutama UU No. 22 Tahun 2009 terkait Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Undang-undang ini disahkan sebelum adanya sistem bisnis transportasi online seperti sekarang ini. Mencari solusi yang bisa diterima oleh semua pihak, baik dari sisi konsumen, pelaku bisnis transportasi konvensional dan bisnis transportasi online tentunya tidaklah mudah.
Jika status quo terus dibiarkan, PPAD telah mengancam akan melakukan mogok nasional yang tentunya akan merugikan banyak pihak terutama masyarakat pengguna moda transportasi. Tetapi jika pemerintah menolak mengakomodir transportasi online juga dirasa tidaklah pas, karena teknologi ini memberikan manfaat yang tidak sedikit baik bagi pengguna maupun pengemudinya. Disamping itu, banyak generasi muda Indonesia yang rela meninggalkan pekerjaan mereka yang telah mapan dan bergabung di industri transportasi online ini dalam rangka meningkatkan akses mobilitas penduduk di tengah kemacetan dan semrawutnya transportasi konvensional tanah air. Sekaranglah saat yang tepat bagi pemerintah untuk berdamai dengan teknologi dengan melakukan revisi UU LLAJ tahun 2009 sehingga sesuai dengan perkembangan sektor transportasi ditahun 2016 ini.
Pada rubrik Opiki Kompas, Muhammad Syarif Hidayatullah (2016) menuliskan bahwa pemerintah perlu memperhatikan tiga hal dalam mengakomodir transportasi online; menciptakan persaingan yang adil dan sehat antara perusahaan transportasi online dan transportasi konvensional; jaminan sosial bagi pengemudi dari layanan transportasi online; dan asuransi bagi pengemudi dan penumpang. Akan tetapi, tiga hal tersebut belumlah dirasa cukup, pemerintah juga perlu memperhatikan tiga aspek tambahan berikut ini; keamanan data pengguna transportasi online, revisi mengenai aturan tarif yang berlaku, dan keadilan bagi para pelaku usaha transportasi melalui penerapan aturan yang berlaku.
Pertama, seperti yang dijelaskan pada bagian kedua tulisan ini. Perusahaan aplikasi transportasi online mengumpulkan beberapa data individu konsumen seperti nama, nomor telepon, email, informasi kartu kredit, dan juga mencatat geo-lokasi pengguna. Pemerintah sebagai regulator perlu memastikan bahwa perusahaan aplikasi transportasi online harus memproteksi data tersebut sehingga tidak disalahgunakan baik oleh pihak perusahaan maupun mitra mereka (pihak rental dan juga pengemudi). Hal ini perlu digarisbawahi karena hingga saat ini telah terjadi beberapa kali penyalahgunaan data penumpang transportasi berbasis online oleh para pengemudi, seperti mengirimkan SMS yang tidak wajar. Bukan tidak mungkin juga dimasa mendatang, data geo-lokasi pengguna juga bisa disalahgunakan oleh perusahaan transportasi online atau pihak lainnya.
Kedua, pemerintah juga perlu merevisi aturan mengenai tarif yang berlaku. Manakah yang lebih baik antara penetapan tarif batas atas dan batas bawah atau konsep dynamic pricing, seperti yang ditetapkah oleh Uber. Konsep ini mengaplikasikan teori penawaran dan permintaan dimana biaya akan mengikuti permintaan akan layanan Uber, semakin tinggi permintaan, semakin tinggi biaya yang akan dibebankan kepada konsumen. Disamping itu, pemerintah juga harus mengkaji, apakah perang tarif yang dilaksanakan oleh perusahaan transportasi online bertujuan murni untuk mendapatkan pangsa pasar, atau juga untuk membunuh para pesaingnya sehingga mereka tersingkir dari persaingan dan pada akhirnya mereka bisa bertindak memonopoli pasar transportasi online.
Dan terakhir, setelah bertemu dengan pihak Kementerian Perhubungan pada tanggal 23 Maret 2016, Uber dan GrabCar telah menyampaikan komitmen bahwa mereka adalah perusahaan penyedia jasa layanan aplikasi, bukan perusahaan penyedia jasa transportasi. Oleh karena itu, Uber dan GrabCar harus memastikan bahwa mitra mereka (perusahaan penyedia jasa transportasi) harus mengikuti aturan yang berlaku. Dan jika aturannya memang mewajibkan penyedia jasa transportasi harus berbadan hukum, mengikuti asuransi kecelakaan baik bagi pengemudi dan penumpang, uji kelaikan kendaraan (KIR), dan berbagai kewajiban lainnya sesuai aturan yang berlaku. Oleh sebab itu, pemerintah sebagai regulator harus memastikan bahwa semua pemain di industri transportasi, termasuk juga Uber dan GrabCar sebagai penyedia jasa layanan aplikasi mematuhi peraturan yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia.
*Photo credit to Mark Warner via Flickr